SURABAYA - Adanya temuan dari peneliti IPB Sri Estuningsih mengenai susu formula yang mengandung bakteri enterobacter sakazakii membuat orang tua resah. Walau begitu, Menteri Kesehatan RI Dr dr Endang Rahayu Sedyaningsih MPH PH sudah memastikan bila susu formula yang beredar di masyarakat aman untuk dikonsumsi.
Bahkan, Endang menambahkan bila dia tidak mengetahui hasil penelitian IPB yang menyebut sejumlah susu formula yang beredar di pasaran mengandung bakteri Enterobacter Sakazakii. Dia juga mengaku tidak tahu daftar merek susu yang menjadi objek penelitian IPB tersebut. Sebab, hasil penelitiannya tidak dilaporkan ke Kemenkes. "Yang punya data IPB. Kalau mau tahu ya silahkan ke IPB. Saya tak tahu datanya," katanya saat ditemui di rusun Sumbo Surabaya, kemarin (11/2)
Endang mengatakan bila pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah mengumumkan bila susu formula yang beredar di masyarakat aman untuk dikonsumsi. Walau begitu, Menkes minta agar susu formula tidak diberikan pada bayi berusia di bawah enam bulan. "Untuk bayi di bawah usia enam bulan, sebaiknya berikan ASI (Air Susu Ibu) saja," katanya.
Dikatakan, ada dua jenis bakteri enterobacter sakazakii terbagi menjadi dua jenis. Ada yang berbahaya, dan tidak berbahaya. "Dua jenis bakteri itu pasti mati kalau dipanaskan dengan suhu 70 derajat celcius. Bakteri itu akan mati dalam waktu 15 detik," jelasnya.
Seperti diketahui, Endang mengumumkan mengenai keamanan bakteri enterobacter sakazakii. Itu setelah Mahkamah Agung (MA) memerintahkan Kementerian Kesehatan, BPOM dan IPB untuk mengumumkan nama produsen susu formula yang ditemukan mengandung bakteri tersebut.
Perintah itu dikeluarkan karena ada salah seorang warga yang menggugat hasil penelitian itu dan menuntut pemerintah mengumumkan para produsen susu sehingga bisa mengambil tindakan pencegahan. Berdasar hal tersebut, MA memerintahkan ketiga pihak, yakni Kemenkes, Badan POM, dan IPB mengumumkan nama produsen.
Sementara Sri Estuningsih, peneliti IPB, menemukan susu tercemar bakteri Enterobacter Sakazakii. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa 22,73% susu formula (dari 22 sample), 40% makanan bayi (dari 15 sampel), yang dipasarkan pada April-Juni 2006 telah terkontaminasi Enterobacter Sakazaki. Namun, Estu merahasiakan nama-nama susu tercemar tersebut.
Setelah melakukan rangkaian kunjungan, Menkes menutup kunjungannya ke Surabaya ke redaksi Jawa Pos di gedung Graha Pena. Menkes disambut oleh jajaran direksi dan para redaktur Jawa Pos. Yakni, Direktur Jawa Pos Nany Wijaya dan Pemred Jawa Pos Leak Kustiya. Pertanyaan seputar kesehatanpun mengalir deras. Terutama tentang kebijakan Menkes agar segera mengegolkan RPP tentang pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif, problem HIV/AIDS di Indonesia yang tinggi, dan masih tingginya angka kematian ibu (AKI).
RPP tentang tembakau misalnya hingga kini belum juga disahkan oleh pemerintah. Masih saja ada tarik ulur penggedokan aturan itu. Padahal, kota-kota di Indonesia gencar memberlakukan kawasan tanpa rokok (KTR). Sementara, RPP tersebut hingga kini belum juga digedok.
Terkait hal itu, Mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan mengaku telah mendengar masukan dari berbagai pihak. Berbagai pihak sejatinya telah setuju agar aturan itu segera disahkan. Dengan begitu, akan ada kebijakan secara nasional, tidak seperti sekarang ini karena hampir semua daerah memiliki peraturan daerah (perda) tentang KTR sendiri-sendiri.
Apalagi, persentase merokok untuk penduduk berusia diatas 10 tahun mencapai 23,7 persen tiap hari. Fakta lain menyebut, 85,4 persen perokok melakukan di dalam rumah dengan konsumsi rata-rata 12 batang per hari. Laki-laki masih mendominasi sebagai konsumen utama untuk semua jenis rokok. Namun, untuk tembakau kunyah, wanita 19 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Berbagai regulasipun seputar produk rokok akan diperketat. Misalnya, adanya larangan bagi anak dibawah usia 18 tahun untuk merokok. Hanya, kata Menkes, pemerintah mengakui kesulitan untuk melarang iklan rokok. "Kita semua tahu ini menyangkut berbagai kepentingan," ujarnya. Padahal, RPP tersebut, menurut Endang, lebih maju dibandingkan PP 19/2003 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Karena itu, Menkes optimistis RPP itu akan segera disahkan. Sebab, sudah ada kesepakatan dengan berbagai kementrian.
Persoalan lain yang tak kalah menjadi perhatian adalah kasus HIV/AIDS yang selalu meningkat. Terutama, di kawasan prostitusi. Di Surabaya sendiri ada Dolly yang ditengarai sebagai pemicu penyebaran HIV/AIDS. Karena itu, mungkinkah HIV/AIDS bakal berkurang ketika tempat-tempat prostitusi macam Dolly ditutup?
Menanggapi hal itu, Endang mengatakan, bahwa tingginya angka HIV/AIDS tak hanya di kawasan prostitusi, tapi juga sekitarnya. Dengan begitu, penutupan kawasan prostitusi tidak menjadi garansi untuk menekan angka HIV/AIDS. Sementara angka penyakit itu di sekitar kawasan prostitusi semakin tinggi. "Jika kita kesulitan menutup Dolly, yang bisa kita lakukan adalah menatanya. Agar angka kejadian penyakit itu berkurang," jelasnya. Termasuk, mengidentifikasi daerah atau kawasan prostitusi mana saja yang memiliki jumlah tinggi penderita HIV/AIDS.
Sebab, HIV AIDS dalam sepuluh tahun terakhir ini selalu memperlihatkan tren kenaikannya. Penularan melalui heteroseksual masih mendominasi dengan persentase 51,3 persen dan disusul IDU dengan 39,6 persen.
Problem kesehatan lain yang menjadi perhatian besar adalah tingginya angka kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Saking tingginya, Indonesia masuk kelas kelima terburuk tingginya angka kematian tersebut di dunia. Pada 2010, AKI di Indonesia adalah 228 per 100 ribu kelahiran hidup. Targetnya, kata Endang, angka kematian itu turun hingga 1 per 100 ribu. "Bergantung daerahnya juga. Jika suatu daerah penduduknya kecil, tidak boleh ada satupun ibu yang meninggal ketika melahirkan," jelas peraih gelar doctor di Harvard School of Public Health, USA itu.
Tingginya AKI di Indonesia karena berbagai factor. Berdasarkan riset kesehatan dasar (riskesdas) 2010 yang dilakukan Kemenkes, 46 persen wanita menikah dibawah usia 20 tahun. Fakta itu menjadi salah satu factor tingginya angka kematian ibu. "Ada empat factor. Terlalu muda menikah, terlalu tua menikah, terlalu banyak anak, dan terlalu sering melahirkan," paparnya. Juga karena berbagai penyebab lain seperti, terlambat tertangani dan terlambat datang untuk mendapat pertolongan.
Karena itu, ada berbagai upaya yang dilakukan Kemenkes. Rumah sakit-rumah sakit yang melakukan monitoring dan evaluasi bakal diperbanyak. Termasuk, mengoptimalkan peran desa siaga. Beberapa provinsi seperti NTB dan Jawa Barat menjalankan program desa siaga dengan baik. "Banyak bumil yang ditangani. Termasuk, mencatat jumlah bumil di wilayahnya," terang perempuan kelahiran 1 Februari 1955 itu. Bahkan, daerah-daerah itu sudah memiliki program agar angka kematian ibu mencapai nol persen. Program itu dikenal dengan Akino.
Selain itu, upaya yang tak kalah penting adalah mengembalikan peran puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan dasar kesehatan. Puskesmas?harus menjalankan fungsi primernya, yakni mencegah berbagai persoalan kesehatan. Bukan berperan sebagai kuratif atau menangani berbagai penyakit. Karena itu, revitalisasi puskesmas terus dilakukan. Pada 2010, penambahan puskesmas di seluruh Indonesia mencapai 194. Terdiri dari puskesmas perawatan 177 dan non perawatan 77. Selain itu, juga ada penambahan 377 puskesmas pembantu dan 2.828 posyandu.(ai/kit/jpnn)
BY: 4H3 KPFM.....sumber Kalteng Pos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar