Rabu, 02 Maret 2011

Harus Ada yang Legowo Soal RTRWP Kalteng, GAPKI Sarankan Cek Kondisi Objektif


PERSOALAN RTRWP Kalteng mendapat perhatian serius Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Sekretaris Jenderal (Sekjen) GAPKI Pusat Joko Supriyono menilai penyelesaian RTRWP Kalteng memerlukan langkah-langkah yang bijak.
Menurut dia, kalau dalam perjalanannya ada aspek hukum yang tidak bisa dihindarkan, Joko menyarankan kembali ke fatwa Jaksa Agung saja.
"Fatwa Jaksa Agung jelas-jelas mengatakan bahwa masalah (RTRWP) Kalteng sudah tidak bisa diselesaikan dengan alat hukum. Artinya perlu kebijakan dalam penanganannya dan dilakukan secara damai. Harus ada yang legowo," kata Joko saat ditemui Kalteng Pos di kantornya, Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (1/3).
Menurut Direktur Environment & Social Responsibility (ESR) PT Astra Agro Lestari Tbk itu, semua pihak yang berkepentingan harus menyamakan persepsi.
"Pemerintah daerah, DPR, dan kalau perlu pengusaha harus melihat kondisi objektif di lapangan. Kalau kawasan perkebunan yang sudah berpuluh-puluh tahun beroperasi, ada HGU, ada pabrik, ada permukiman mau dikembalikan ke hutan, menurut saya tidak logis," katanya.
Joko berharap semua pihak melihat RTRWP Kalteng secara komprehensif. "Kalau sudah melihat kondisi objektif, kita bisa menyimpulkan mana yang harus diteruskan dan mana yang masih mungkin dikembalikan menjadi hutan," ajaknya.
Menurut Joko, perizinan perkebunan yang didakwa berada di kawasan hutan mencapai satu juta hektare. Dari jumlah itu, sekitar 600 ribu hektare sudah menanam dan selebihnya belum.
"Bagaimana mau menanam kalau tidak ada kepastian hukum, tidak ada kepastian investasi? Yang sudah menanam saja khawatir, apalagi yang belum," katanya.
Masalah ini, lanjut Joko, bukan semata-mata kesalahan pengusaha.
"Kalau ada pengusaha yang salah, pasti ya. Tapi sebenarnya ini bagian dari kesalahan regulasi. Tidak mungkin pengusaha menanam atau berinvestasi di areal satu juta hektare kalau tidak ada izin, entah dari bupati atau gubernur," jelasnya.
Menurut Joko, pada tahun 1999 di Kalteng sudah ada perda tentang paduserasi dan TGHK.
"Paduserasi dan TGHK itu legal, jadi pengusaha tidak salah," katanya lagi.
Joko bercerita bahwa pada tahun 2000 ada surat Badan Planologi (Baplan) yang mengatakan bahwa investasi di Kalteng dalam area yang tidak disebut hutan dalam RTRWP tidak perlu izin pelepasan kawasan hutan.
"Tahun 2006, ada surat Menhut yang membatalkan surat Baplan dan surat itu berlaku surut sampai tahun 2000. Bagaimana dengan perkebunan yang sudah telanjur banyak berinvestasi?" katanya.
GAPKI, kata Joko, telah dan akan terus menempuh semua jalur untuk mendorong percepatan penyelesaian RTRWP Kalteng. Bagi GAPKI, perkebunan yang sudah beroperasi harus tetap berjalan.
"Harus terus
berjalan karena investasi yang ditanamkan sudah besar, tenaga kerja yang terserap sudah banyak, kontribusi bagi pembangunan daerah juga tidak sedikit. Itu semua jangan sampai mati, jangan sampai terhenti," ujar Joko. (yon)

4H3 KPFM Kalteng Pos Sumber............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar